Monday, May 12, 2014

Insektisida Golongan Organophosphates

Insektisida organophosphates bekerja melalui tranmisi rangsang saraf. Cara kerja utamanya adalah pada sinapsis (celah kecil antara serat syaraf satu ke yang lain) dengan melalui zat perantara yang disebut neorotransmitters.

Fungsi organophosphates adalah sebagai penghambat kerja dari enzim acetylcholinesterase. Enzim acetylcholinesterase merupakan enzim yang bertugas menghancurkan senyawa kimia jenis acetylcholine ketika rangsang saraf melewati sinapsis. Insektisida golongan organofosfat menyebabkan enzim acetylcholinesterase tidak bekerja, sehingga menyebabkan senyawa kimia jenis acetylcholine menetap dan bergabung dengan sel saraf. Dengan masuknya senyawa kimia jenis acetylcholine ke dalam sel saraf serangga menyebabkan sel saraf tidak dapat meneruskan rangsang, sehingga mengakibatkan sel dalam tubuh serangga hiperaktif (bergerak cepat), tremor, gangguan hebat hingga lumpuh bahkan mati dan menyebabkan serangga secara spontan mati.

Bagaimana Serangga menjadi Resisten?


Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan Pestisida seperti Insektisida ialah timbulnya resistensi pada serangga hama. Resistensi serangga terhadap Insektisida dapat didefinisikan sebagai berkembangnya kemampuan strain serangga untuk mentolerir dosis racun yang dapat mematikan sebagian besar individu-individu di dalam populasi yang normal pada spesies yang sama. 



Serangga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) secara cepat dengan lingkungan. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya resistensi, penggunaan insektisida sejenis dan memiliki kemampuan atau metode pengendalian yang sama dalam waktu yang lama tidak dianjurkan.



Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam populasi menjadi resisten.



Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun.



Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.



Proses terjadinya resistensi



Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.



Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena adanya seleksi yang terus- menerus, jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten. Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.



Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individu-individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi individu yang peka. Tindakan ini juga meningkatkan proporsi individu-individu yang tahan dan tetap hidup.



Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi.



Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.



Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten.



Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi.



Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain.



Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga. 

Sumber: