Berkembangnya resistensi
berbagai jenis hama, penyakit dan gulma terhadap pestisida pada
50 tahun akhir ini merupakan masalah yang paling serius yang kita hadapi sejak
digunakannya secara luas pestisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir
Perang Dunia II. Resistensi hama terhadap pestisida merupakan fenomena global
yang dirasakan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) terutama petani
di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Secara ekonomi dan
sosial dampak resistensi terhadap pestisida sangat besar bagi para pengguna
akhir pestisida terutama petani, industri penghasil pestisida, pemerintah dan
masyarakat. Petani harus mengeluarkan lebih banyak biaya pengendalian karena
mereka terpaksa mengaplikasikan pestisida lebih sering dengan dosis yang lebih
tinggi atau membeli pestisida baru yang harganya lebih mahal.
Pemerintah menderita
kerugian karena sasaran produktivitas pertanian dan keamanan pangan tidak
tercapai. Industri pestisida merugi karena penjualan berkurang, masa kadaluarsa
pestisida di pasar semakin pendek, dan biaya
investasi untuk pengembangan senyawa-senyawa baru belum
terbayar kembali. Masyarakat merasakan dampaknya karena penurunan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi, peningkatan harga produk pertanian, serta peningkatan
risiko bahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Sebagian besar
peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia
terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh
pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk
pengembangan populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada
suatu saat dianggap sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak
berguna bila sebagian besar individu dalam populasi menjadi resisten.
Saat ini jumlah dan
keragaman jenis hama yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa
jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat di seluruh dunia. Telah
diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan mengembangkan
resistensi terhadap jenis pestisida apapun.
Laju peningkatan
resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan
memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari
atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program
pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam
menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.
Dampak Resistensi Pestisida
Meskipun resistensi hama
terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun 1910-an, namun kasus
ini meningkat sekali sejak ditemukannya insektisida organik sintetik. DDT
sebagai insektisida organik sintetik pertama ditemukan dan digunakan secara
luas sejak tahun 1945.
Pada tahun 1948 sudah
mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Pada tahun
1986 dilaporkan 447 jenis serangga yang resisten terhadap hampir semua kelompok
insektisida (organokhlor, oganofosfat, karbamat, piretroid sintetik, fumigan)
termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt (Georgiiou,1986).
Jenis resistensi hama
terhadap pestisida dapat berupa resistensi
tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross
resistance). Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada
serangga-serangga pertanian, tetapi juga pada semua kelompok serangga termasuk
serangga rumah tangga dan kesehatan masyarakat.
Resistensi pada penyakit
tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940-an, namun kasus resistensi
penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi fungisida
sistemik sekitar tahun 1960-an. Resistensi gulma terhadap herbisida baru
diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini banyak spesies gulma yang resisten
terhadap berbagai kelompok dan jenis herbisida, seiring dengan peningkatan
penggunaan herbisida (Georgiou, 1986).
Para petani di Indonesia
umumnya masih cenderung enggan mengambil risiko. Meskipun PHT sudah menjadi
kebijakan pemerintah, namun banyak petani masih mempercayakan pada penyemprotan
pestisida secara asuransi.
Tanggapan pertama petani
terhadap pestisida yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan
dosis dan frekuensi aplikasi. Bila hal ini tak berhasil mereka akan menggunakan
jenis pestisida yang lebih baru, lebih mahal dan mereka harapkan lebih manjur
daripada jenis pestisida yang digunakan sebelumnya.
Pergeseran petani dari
penggunaan pestisida baru tanpa adanya perubahan mendasar dalam filosofi dan
strategi pengendalian hama dengan pestisida, merupakan solusi sementara yang
akan menimbulkan masalah baru yang lebih parah yaitu terjadinya resistensi hama
pada jenis pestisida yang baru.
Dari data penelitian dan
empirik dapat dibuktikan bahwa populasi hama yang sudah resisten terhadap satu
atau lebih jenis pestisida biasanya dapat mengembangkan sifat resistensi
terhadap senyawa lain secara lebih cepat, khususnya bila senyawa baru ini
mempunyai mekanisme resistensi yang sama atau berdekatan dengan senyawa-senyawa
sebelumnya. Sebagian besar hama mampu mempertahankan dan mewariskan sifat
resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.
Akibat peningkatan dosis
dan frekuensi aplikasi pestisida percepatan pengembangan resistensi pestisida sangat
meningkatkan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan petani dan para pengguna
pestisida lainnya. Di Amerika Serikat telah dilakukan perkiraan peningkatan
biaya pengendalian akibat resistensi pestisida, dan diperoleh angka sekitar 133
juta US$.
Di tingkat global pada
tahun 1980 (kecuali Rusia dan Cina) diduga tambahan biaya pengendalian dengan
pestisida akibat resistensi adalah sekitar satu milyard US $. Kalau peningkatan
biaya tersebut ditambahkan pada biaya investasi untuk memperoleh jenis pestisida
baru yang besarnya sekitar 100 juta US$ per satu jenis pestisida baru, sangat
sulit bagi perusahaan pestisida untuk dapat memperoleh keuntungan. Tidak
mengherankan bahwa laju penemuan pestisida baru saat ini sangat lambat (Georgiou, 1986).
Di samping ketakutan
akan fenomena resistensi pestisida, beberapa penyebab berkurangnya penemuan
pestisida baru adalah:
1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan pestisida baru yang
memenuhi syarat,
2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi pestisida yang semakin
ketat,
3) peningkatan biaya produksi, serta
4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen pestisida.
Ada kemungkinan
kecenderungan bergabungnya perusahaan-perusahaan pestisida multinasional
akhir-akhir ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Mekanisme resistensi
Mekanisme resistensi
suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
- Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
- Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
- Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida.
Ketahanan serangga
terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari
satu penyebab dan mekanisme ketahanan.
Ada beberapa jenis
serangga yang cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat,
ada juga jenis-jenis insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari
banyak jenis serangga. Mekanisme resistensi penyakit terhadap fungisida dan
resistensi gulma terhadap herbisida pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan
mekanisme resistensi hama terhadap insektisida.
Strategi Pengelolaan Resistensi
Pestisida
Untuk memperlambat
timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut Georghiou dapat dilakukan dengan
3 strategi yaitu :
1) sikap sedang (moderation),
2) penjenuhan ( saturation ) dan
3) serangan ganda ( multiple attack).
Pengelolaan dengan
moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi terhadap hama antara lain dengan
pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang lebih jarang.
Pengelolaan dengan
saturasi bertujuan memanipulasi atau mempengaruhi sifat pertahanan serangga
terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun genetik.
Pengelolaan dengan
serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara mengadakan rotasi atau
pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai cara kerja atau mode
of action yang berbeda.
Adanya refugia merupakan
mekanisme untuk menghambat pengembangan sifat resistensi pada populasi karena
di refugia merupakan sumber individu imigran yang masih memiliki sifat peka
terhadap pestisida (Georgiou dan Taylor,
1986).
Pengelolaan resistensi
pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat menghalangi, menghambat,
menunda atau membalikkan pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan
pengelolaan resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang
faktor-faktor yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan
frekuensi genotipe resisten.
Program pengelolaan
resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif
tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten
terhadap pestisida.
Pengelolaan Resistensi Pestisida dan
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Resistensi pestisida
suatu fenomena alam yang sangat kuat dan masalah yang diakibatkannya semakin
berlarut dan merugikan. Pengembangan keparahan masalah resistensi dikendalikan
sepenuhnya oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan kurang perhatian semua
pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke terjadinya eksplosi hama
yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan program perlindungan terhadap
kesehatan masyarakat.
Masalah resistensi harus
ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas sektor,
mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani
tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di
lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh stakeholders
secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan pelatihan pada para
petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam
menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga dapat memperlambat terjadinya
populasi resisten.
Petani terutama petani
hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan dan
mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan
resistensi pestisida.
Pengelolaan resistensi
pestisida sangat komplementer dan mendukung prinsip dan strategi PHT.
Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi teknik pengendalian dengan
pestisida dan pengendalian tanpa pestisida sedemikian rupa sehingga frekuensi
individu-individu resisten dalam populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat
dikelola dan secara ekonomis layak.
Penggunaan pestisida
agar dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan hasil monitoring dan
analisis data populasi hama dan musuh alaminya. Semakin kecil paparan populasi
hama terhadap pestisida kimia tertentu diharapkan dapat memperlambat timbulnya
populasi resisten. Penerapan PHT akan mengurangi tekanan seleksi terhadap
organisme perusak tanaman serta dapat memperlambat atau menunda pengembangan
populasi resisten yang merugikan semua pihak.
Deteksi dan Monitoring Resitensi
Penerapan program
pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini mungkin. Apabila kegagalan
pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi karena berkembangnya populasi
resisten, mungkin tingkat resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit untuk
diturunkan kembali sampai ke tingkat yang rendah.
Karena itu perlu
dikembangkan metode pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat sehingga
adanya perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat diketahui
lebih awal. Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang standar akan
menunjang kegiatan monitoring yang terprogram.
Metode tersebut
diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat keparahan resistensi
secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan mengenai lebar atau panjang
“jeda waktu” yaitu sejak resistensi terdeteksi sampai ke tingkat keparahan
resistensi yang tidak dapat dikelola lagi tersebut.
Untuk mendukung program
ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi, biokimia dan genetika molekuler
diharapkan mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode deteksi tersebut.
Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan metode deteksi
yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah terjadinya
resistensi di populasi hama.
Metode deteksi dan
monitoring resistensi yang sudah lama digunakan adalah dengan teknik bioassay.
Pengujian biokimia untuk mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga
terkait dengan mekanisme resistensi pada organisme yang diuji juga telah banyak
dikembangkan. Namun metode biokimia menuntut lebih banyak peralatan yang lebih
canggih dan lebih mahal daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar
bioteknologi juga sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi
keberadaan gen resisten.
Rekomendasi Kegiatan Penelitian
Resistensi Pestisida
Berikut ini disampaikan
beberapa rekomendasi dari kegiatan penelitian dasar dan terapan yang
direkomendasikan oleh Komisi Strategi Manajemen Populasi Hama yang Resisten
Pestisida pada Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1984 (NRC, 1986).
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak dalam biokimia,
fisiologi dan genetika molekuler tentang mekanisme resistensi pada berbagai
kisaran spesies hama. Biologi molekuler termasuk teknologi rekombinan DNA,
sangat menolong dalam melakukan isolasi dan karakterisasi mekanisme resistensi
yang spesifik.
2. Penemuan dan eksploitasi “target site” baru untuk pestisida baru seharusnya
merupakan fokus penelitian, bersamaan dengan usaha awal penelitian yang
menggabungkan kemampuan riset tradisional dengan bioteknologi baru.
3. Metode standar untuk mendeteksi dan monitor resistensi hama-hama
utama perlu dikembangkan, divalidasi dan selanjutnya diaplikasikan lebih luas
di lapangan.
4. Konsep dan wawasan yang berasal dari penelitian biologi populasi
dalam resistensi pestisida harus digunakan lebih efektif untuk mengembangkan,
menerapkan dan mengevaluasi strategi dan taktik pengelolaan resistensi.
5. Pengembangan dan pengujian suatu sistem untuk pendugaan atau
penaksiran risiko resistensi perlu dipercepat.
6. Peningkatan tekanan penelitian dan pengembangan harus diarahkan
pada evaluasi di laboratorium dan lapangan mengenai taktik-taktik untuk
mencegah atau menghambat pengembangan resistensi.
7. Usaha-usaha harus diperluas untuk mengembangkan sistem Pengelolaan
Hama Terpadu. Langkah-langkah perlu diambil untuk mendorong penerapan PHT sebagai
ciri utama dari semua program pengelolaan resistensi.
8. Kegiatan penelitian yang kritis adalah dalam menetapkan aras
toleransi suatu populasi terhadap pestisida, dan kebugaran relatif dari bagian
populasi hama yang resisten dibandingkan dengan bagian populasi hama yang peka.
No comments:
Post a Comment