a.
Data tentang Resistensi Pestisida
Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak
“manjurâ€nya jenis-jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh
para petani atau petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian
resistensi pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama
tertentu seperti hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan
bahwa tidak banyak peneliti di Indonesia yang bekerja menekuni masalah
resistensi pestisida secara mendalam. Pada tingkat nasional maupun daerah,
Indonesia belum memiliki rencana strategik kegiatan penelitian tentang
pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan resistensi pestisida pada
khususnya.
Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap malathion 34,5 kali,
diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia hama tersebut
telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali
(Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi terhadap
insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC terhadap
wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali (Putra et al.,2002).
Hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella) yang menyerang kubis termasuk salah satu hama
yang cepat menunjukkan sifat ketahanan terhadap berbagai kelas pestisida kimia
dan juga pestisida biologi seperti Bt. Laporan pertama mengenai resistensi hama Plutella di Indonesia adalah terhadap DDT pada tahun
1951 di Lembang dan Batu dengan peningkatan 9 kali (Vos,1951;1952 cit Oka dan Sukardi, 1981).
Tjoa (1959, cit Oka dan Sukardi,1981)
melaporkan bahwa Plutella sudah resisten terhadap
HCH, Toxaphene, Aldrin, Dieldrin dan Endrin, hanya dalam kurun waktu 14 tahun
setelah pestisida tersebut digunakan. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan
bahwa populasi Plutella dari Kopeng resisten
terhadap deltametrin dengan tingkat resistensi 469 kali dibanding populasi dari
Cepogo yang masih peka ( Nuryanti dan Trisyono, 2002 ).
Plutella resisten terhadap deltametrin diturunkan secara monogenik,
bersifat resesif dan ada maternal effect (Listyaningrum et al., 2003).
Plutella xylostella strain Lembang, Pengalengan, Berastagi sangat
resisten terhadap Bt var kurstaki dan strain HD-7 (Sastrosiswojo et.al. 2003).
Peluang peningkatan faktor resistensi hama Plutella di Indonesia sangat besar karena di pusat
daerah sayuran seperti Lembang, Dieng, dan Batu tanaman kubis ditanam sepanjang
tahun dan penggunaan pestisida sangat intensif dan terus menerus.
b.
Data kerugian ekonomi akibat
resistensi pestisida
Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap
pestisida tertentu, namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa
besar kerugian ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna
pestisida, pemerintah dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida.
Demikian juga kita belum pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang
kita derita akibat fenomena resistensi pestisida.
Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa besar
dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungan hidup.
Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida,
kita belum memiliki data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat
resistensi berbagai jenis pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui
apakah ratusan formulasi pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih
efektif dan efisien dalam mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini
perlu mengetahui di daerah mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah
mana masih didominansi individu-individu peka.
c.
Kebijakan pendaftaran pestisida
terkait resistensi pestisida
Dilihat dari tataran kebijakan nasional kita, belum memiliki
kebijakan dan strategi khusus mengenai pengelolaan resistensi pestisida yang
komprehensif dan terpadu. Umumnya penjelasan, anjuran, rekomendasi dan
pelatihan dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari pemerintah maupun oleh
petugas lapangan perusahaan pestisida tentang aplikasi pestisida yang tepat
guna (tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu dan
tepat tempat) secara tidak langsung bertujuan untuk memperlambat muncul dan
berkembangnya populasi hama resisten pestisida.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai
kebijakan nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh
petani secara individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus
resistensi pestisida pada beberapa komoditas penting.
Keputusan Menteri Pertanian 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran
Pestisida belum mempunyai pasal-pasal khusus yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan fenomena resistensi pestisida. Pasal 15 Kepmen tersebut yang
mengijinkan formulasi pestisida berbahan aktif majemuk diharapkan dapat
mengurangi risiko timbul dan berkembangnya populasi resisten dengan persyaratan-persyaratan
tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan pada Surat
Keputusan Ketua Komisi Pestisida.
d.
Urgensi dan relevansi Kebijakan
Pengelolaan Resistensi Pestisida
Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi
pestisida secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang
dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap
jenis-jenis pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut
antara lain:
1. Petani sebagian besar masih sangat
menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik dalam usaha
pengendalian hama. Mereka masih mengikuti paradigma perlindungan tanaman
konvensional, preventif dan prinsip asuransi yang cenderung berlebihan. Praktek
pengendalian hama ini terjadi terutama pada komoditas rawan hama dan penyakit
seperti kelompok tanaman hortikultura dan perkebunan tertentu.
2. Peningkatan jumlah dan volume jenis-jenis
pestisida di Indonesia pada beberapa tahun terakhir.
3. Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik
yang berarti banyak jenis pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari
sekian banyak insektisida yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung
meningkat baik untuk bidang pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan.
Insektisida sintetik piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur
manfaat yang pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.
4. Semakin sedikitnya jenis-jenis pestisida baru
dengan cara kerja baru yang ditemukan didaftarkan dan diedarkan. Jumlah
pestisida biologi dan pestisida nabati yang didaftarkan dan diijinkan masih
sangat sedikit, kurang dari 5% dari jumlah formulasi pestisida yang telah
diijinkan di Indonesia.
5. Data dan peta tentang tingkat keparahan
resistensi berbagai jenis hama utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita
miliki, karena kurangnya kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor
resistensi pestisida.
Kesimpulan
dan Saran
- Di Indonesia fenomena resistensi hama terhadap pestisida sudah merupakan masalah kronis yang telah lama kita hadapi sejak kita menggunakan pestisida, namun belum pernah dilakukan evaluasi dan pendugaan mengenai kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh fenomena tersebut.
- Indonesia belum mempunyai kebijakan dan strategi khusus untuk menanggulangi dan menghambat perkembangan populasi hama resisten karena belum memiliki kegiatan penelitian yang komprehensif, dapat dipercaya dan memadai.
- Resistensi pestisida seharusnya merupakan perhatian dan keprihatinan semua stakeholders (pemangku kepentingan) termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, produsen dan distributor pestisida, peneliti, akademisi, petani secara individu dan berkelompok dan masyarakat pada umumnya.
- Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan kebijakan khusus tentang Manajemen Resistensi Pestisida dengan melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas disiplin yang bertujuan menghambat, menunda atau menghentikan perkembangan populasi hama resisten.
- Pengembangan dan penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan Vektor Penyakit Manusia secara Terpadu perlu ditingkatkan dan diperluas, melalui kegiatan pemberdayaan petani dan masyarakat dalam menggunakan pestisida secara selektif dan hemat.
- Dalam kebijakan pendaftaran pestisida, hasil analisis risiko resistensi agar juga dipersyaratkan.
No comments:
Post a Comment