Wednesday, February 25, 2015

Media Tanam - Cocochip



Hampir sama dengan cocopeat, cocochip berasal dari serabut buah kelapa. Hanya saja kalau cocopeat berbentuk serbuk, maka cocochip berbentuk potongan-potongan yang lebih besar berbentuk dadu. Cocochip umumnya berukuran ½ - 1 Cm. Kelebihan dan kekurangan cocochip sama dengan cocopeat.

Di Indonesia penggunaan cocochip memang tidak terlalu popular. Cocochip umumnya digunakan sebagai “pengganjal” dasar pot untuk menciptakan drainase yang baik di dalam pot.

Sumber:
 

Media Tanam - Cacahan Pakis



Cacahan pakis adalah batang atau akar tanaman pakis yang telah dicacah menjadi cacahan halus. Cacahan pakis yang baik digunakan adalah cacahan pakis matang yang sudah mengalami “fermentasi”. Cacahan pakis matang bersifat porous, mempunyai aerasi yang baik tetapi tetap mampu menyimpan air yang dibutuhkan tanaman dan mampu “memegang” tanaman dengan baik tanpa menimbulkan sifat padat yang berlebihan. Cacahan pakis merupakan komponen media tanam favorit pekebun dan hobiis saat ini.

Hanya saja dikarenakan pakis telah masuk ke dalam CITES appendix dimana pakis dinyatakan sebagai tanaman yang dilindungi karena terancam kepunahannya, maka semaksimal mungkin penggunaan cacahan pakis sebagai media tanam dibatasi. Akhir-akhir ini karena permintaan akan media tanam pakis semakin besar seiring dengan maraknya dunia tanaman hias di tanah air, telah mengakibatkan kerusakan hutan pakis di habitatnya secara besar-besaran. Dahulu, orang mendapatkan cacahan pakis dari tanaman pakis yang sudah mati dan membusuk. Tetapi sekarang, karena permintaan yang mengalir deras, maka banyak orang berburu pakis hidup di hutan-hutan untuk ditebang dan dicacah-cacah. Hal ini tentu makin memperparah kerusakan habitat pakis yang sudah terancam kepunahan. Diluar negeri, utamanya di Negara-negara Eropa dan Amerika, penggunaan cacahan pakis sudah dilarang sejak beberapa tahun yang lalu.

Sumber:

Thursday, February 19, 2015

Media Tanam - Cocopeat

Cocopeat diolah dari sabut kelapa. Sebelum diolah, sabut kelapa direndam selama 6 bulan untuk menghilangkan senyawa-senyawa kimia yang dapat merugikan tanaman seperti tanin. Senyawa itu dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Setelah dikeringkan, sabut kelapa itu dimasukkan ke dalam mesin untuk memisahkan serat dan jaringan empulur. Residu dari pemisahan itulah yang kemudian dicetak membentuk kotak. Media dicetak dengan tingkat kerapatan rongga kapiler sehingga dapat menyimpan oksigen sampai 50%. Itu lebih tinggi ketimbang kemampuan menyimpan oksigen pada tanah yang hanya 2-3%. Ketersediaan oksigen pada media tanam dibutuhkan untuk pertumbuhan akar.

Hasil penelitian Dr Geoff Creswell, dari Creswell Horticultural Service, Australia, media tanam cocopeat sanggup menahan air hingga 73%. Dari 41 ml air yang dialirkan melewati lapisan cocopeat, yang terbuang hanya 11 ml. Jumlah itu jauh lebih tinggi daripada sphagnum moss yang hanya 41%. Secara umum, derajat keasaman media cocopeat 5,8-6. Creswell menyarankan, air diberikan sedikit demi sedikit tetapi kontinu seperti dengan cara irigasi tetes atau pengabutan.

Menurut Joko Pramono, pengguna cocopeat di Semarang, Jawa Tengah, pada kondisi itu tanaman optimal menyerap unsur hara. Derajat keasaman (pH) ideal yang diperlukan tanaman 5,5-6,5. Karena kemampuan cocopeat menahan air cukup tinggi, hindari pemberian air berlebih. ‘Pada beberapa jenis tanaman, media terlalu lembap dapat menyebabkan busuk akar,’ kata Joko. Oleh sebab itu, ia mencampur cocopeat dengan bahan lain yang daya ikat airnya tidak begitu tinggi seperti pasir atau arang sekam. Sekadar berjaga-jaga, setiap kali membeli cocopeat, Yopie-sapaan Joko Pramono-merendamnya hingga tiga hari. Air rendaman diganti setiap hari. ‘Saya khawatir masih mengandung tanin atau zat-zat racun lainnya,’ kata pria yang kini sedang menempuh gelar doktor di UGM itu.

Menurut Kevin Handreck dalam bukunya Growing Media, kandungan klor pada cocopeat cenderung tinggi. Bila klor bereaksi dengan air, ia akan membentuk asam klorida. Akibatnya, kondisi media menjadi asam. Sedangkan tanaman umumnya menghendaki kondisi netral. Sydney Environmental and Soil Laboratory, Australia, mensyaratkan kadar klor pada cocopeat tidak boleh lebih dari 200 mg/l. Oleh sebab itu, pencucian bahan baku cocopeat sangat penting.

Membeli cocopeat hasil pabrikan lebih terjamin. Produsen biasanya mencantumkan spesifikasi produk seperti porositas, kelembapan, Water Hold Capacity (WHC), derajat keasaman (pH), Electric Conductivity (EC), indeks kadar racun, kandungan mineral, dan cara penggunaannya pada kemasan atau brosur.

Cocopeat diperkirakan akan menjadi alternatif dunia bagi peningkatan kesuburan tanah, sebab bila dicampurkan dengan tanah berpasir hasil tanam pun menabjubkan. Hanya saja unsur hara tanah tidak tersedia dalam cocopeat untuk itu pupuk masih sangat dibutuhkan. Cocok buat pembibitan, perkebunan, pertanian bahkan untuk tanaman anthurium. Kelebihan sekam dan serbuk gergaji meningkatkan sirkulasi udara dan sinar matahari ada pada cocopeat, tapi kelemahanan sekam dan serbuk gergaji bersifat panas dan bertahan hanya 6 bulan saja berbeda dengan cocopeat yang netral dan tahan lama.

Kekurangan cocopeat adalah banyak mengandung zat Tanin. Zat Tanin diketahui sebagai zat yang menghambat pertumbuhan tanaman. Untuk menghilangkan zat Tanin yang berlebihan, maka bisa dilakukan dengan cara merendam cocopeat di dalam air bersih selama beberapa jam, lalu diaduk sampai air berbusa putih. Selanjutnya buang air dan diganti dengan air bersih yang baru. Demikian dilakukan beberapa kali sampai busa tidak keluar lagi.

Cocopeat merupakan serabut kelapa yang sudah disterilisasi. Cocopeat bersifat menyimpan air. Dengan menggunakan cocopeat penyiraman dapat dilakukan dengan lebih jarang. Penyiraman dilakukan setelah media kering.Perlakuan cocopeat sebelum digunakan sebagai media tanam untuk anggrek.Serabut kelapa mengandung zat tanin, atau zat anti gizi. Adanya zat tanin ditandai dengan keluarnya warna merah bata saat serabut kelapa direndam dalam air. Sebelum digunakan rendam selama sehari atau direbus terlebih dahulu sampai warna merah yang keluar benar-benar berkurang.

Sumber:
https://produkkelapa.wordpress.com/2010/06/14/mudah-membuat-cocopeat-blok/
(1) http://www.e-smartschool.com/
(2) http://www.chem-is-try.org
(3) http://www.trubus-online.co.id
(4) http://coco.peat.tripod.com/
(5) http://emirgarden.blogspot.com/
(6) http://iswaraorchid.wordpress.com/
http://emirgarden.blogspot.com/2008/07/komponen-media-tanam_31.html

Media Tanam - Rockwool



Rockwool merupakan salah satu media tanam yang banyak digunakan oleh para petani hidroponik. Media tanam ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan media lainnya terutama dalam hal perbandingan komposisi air dan udara yang dapat disimpan oleh media tanam ini.

Rockwool pertama kali dibuat pada tahun 1840 di Wales oleh Edward Parry, namun karena massa jenis yang ringan dan kondisi penyimpanan yang tidak baik, tiupan angin yang sedikit dapat menerbangkan rockwool yang telah diproduksi dan membahayakan lingkungan kerja. Sehingga produksi ketika itu harus dihentikan.

Rockwool terbuat dari bebatuan, umumnya kombinasi dari batuan basalt, batu kapur, dan batu bara, yang dipanaskan mencapai suhu 1.600 derajat Celcius sehingga meleleh menjadi seperti lava, dalam keadaan mencair ini, batuan tersebut disentrifugal membentuk serat-serat. Setelah dingin, kumpulan serat ini dipotong dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan.

Pada pertanian, rockwool dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari tahap persemaian sampai pada fase produksi. Keungulan pemanfaatan rockwool sebagai media tanam yaitu:

  • Ramah lingkungan
  • Tidak mengandung patogen penyebab penyakit
  • Mampu menampung air hingga 14 kali kapasitas tampung tanah
  • Dapat meminimalkan penggunaan disinfektan
  • Dapat mengoptimalkan peran pupuk.

Namun karena terbuat dari bebatuan yang biasanya mengandung mineral alkali dan alkali tanah dalam jumlah besar, pH dari rockwool cenderung tinggi bagi beberapa jenis tanaman (antara 7.8 hingga 8.0) sehingga dibutuhkan perlakuan khusus sebelum dijadikan media tanam atau dengan memanfaatkan pupuk yang bersifat asam.

Selain sebagai media tanam, rockwool juga digunakan sebagai insulasi termal dan penyerap suara yang baik. Tergantung dari asal bahannya, temperatur yang dapat diterima oleh rockwool sebelum meleleh ada pada kisaran:


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Rockwool

Thursday, December 11, 2014

Jagung Hibrida_Varietas Bima-14 Batara

BIMA-14 BATARA
Tanggal dilepas         : 23 September 2011
Asal                         : N51/Mr15. N51 diekstrak dari RILs (Recombinant inbreed lines)
dengan bulk selfing plant to plant, toleran kekeringan, Mr15 dikembangkan dari populasi Suwan 3
selfing plant to plant (SW3(RRC)C3-3) dengan metode reciprocal re-Current selection
Umur                       : Agak dalam.  50% keluar rambut ± 55 hari setelah tanam
Masak fisiologis           : ± 95 hari setelah tanam
Tinggi tanaman          : ± 199 cm
Batang                      : Besar dan kokoh
Warna batang            : hijau tua
Warna daun               : hijau
Keragaman tanaman    : Seragam
Perakaran                  : Kuat
Kerebahan                 : Tahan rebah
Bentuk malai              : Semi kompak
Warna malai (anthera) : Krem
Warna sekam (glume)  : Hijau krem
Warna rambut            : Krem
Bentuk tongkol           : Besar kerucut, panjang ± 24 cm silindris
Kedudukan tongkol     : ± 95 cm pertengahan tanaman
Kelobot                     : Menutup tongkol dengan baik, rapat
Tipe biji                     : Mutiara
Baris biji                     : Lurus dan rapat
Warna biji                   : Kuning
Jumlah baris/tongkol    : 14-16
Bobot 1000 bijji           : ± 365,50 g
Rata-rata hasil             : 10,1 t/ha pipilan kering
Potensi hasil                : 12,9 t/ha pipilan kering
Kandungan karbohidrat : ± 64,21%
Kandungan protein      : ± 9,688%
Kandungan lemak        : ± 4,288%
Ketahanan                  : Tahan penyakit bulai (Peronosclerospora maydis L.)
Pemulia                      : Andi Takdir M, Muzdalifah Isnaini, R. Neni Iriany M, Muhammad Azrai, dan Aviv Andriani
Teknisi                       : Sampara, Usman, hamzah, Stefanus Misi, Fransiskus Misi, M. Yunus, Arifuddin
Tim Penguji                : Muhammad Idris, Wasmo Wkman, Andi haris Talanca, Wisnu Undoyo, Awaluddin Hipi
Pengusul                   : Balai Penelitian Tanaman Serealia dengan Pemda Sulsel




Tuesday, May 13, 2014

Insektisida Golongan Organophosphates

Insektisida organophosphates bekerja melalui tranmisi rangsang saraf. Cara kerja utamanya adalah pada sinapsis (celah kecil antara serat syaraf satu ke yang lain) dengan melalui zat perantara yang disebut neorotransmitters.

Fungsi organophosphates adalah sebagai penghambat kerja dari enzim acetylcholinesterase. Enzim acetylcholinesterase merupakan enzim yang bertugas menghancurkan senyawa kimia jenis acetylcholine ketika rangsang saraf melewati sinapsis. Insektisida golongan organofosfat menyebabkan enzim acetylcholinesterase tidak bekerja, sehingga menyebabkan senyawa kimia jenis acetylcholine menetap dan bergabung dengan sel saraf. Dengan masuknya senyawa kimia jenis acetylcholine ke dalam sel saraf serangga menyebabkan sel saraf tidak dapat meneruskan rangsang, sehingga mengakibatkan sel dalam tubuh serangga hiperaktif (bergerak cepat), tremor, gangguan hebat hingga lumpuh bahkan mati dan menyebabkan serangga secara spontan mati.

Bagaimana Serangga menjadi Resisten?


Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan Pestisida seperti Insektisida ialah timbulnya resistensi pada serangga hama. Resistensi serangga terhadap Insektisida dapat didefinisikan sebagai berkembangnya kemampuan strain serangga untuk mentolerir dosis racun yang dapat mematikan sebagian besar individu-individu di dalam populasi yang normal pada spesies yang sama. 



Serangga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) secara cepat dengan lingkungan. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya resistensi, penggunaan insektisida sejenis dan memiliki kemampuan atau metode pengendalian yang sama dalam waktu yang lama tidak dianjurkan.



Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam populasi menjadi resisten.



Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun.



Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.



Proses terjadinya resistensi



Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.



Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena adanya seleksi yang terus- menerus, jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten. Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.



Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individu-individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi individu yang peka. Tindakan ini juga meningkatkan proporsi individu-individu yang tahan dan tetap hidup.



Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi.



Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.



Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten.



Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi.



Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain.



Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga. 

Sumber:


+