Sunday, March 1, 2015

PENGGUNAKAN PESTISIDA SECARA EFEKTIF DENGAN MELIHAT KARAKTER PESTISIDA



Pestisida kimiawi hingga saat ini masih dianggap sebagai satu-satunya senjata pamungkas untuk menghadapi serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) karena kompleksnya permasalahan-permasalahan yang sering dijumpai di lapangan.

Para pemakai pestisida, sekalipun sudah sangat akrab dengan pestisida, bahkan tingkat ketergantungannya sangat tinggi, di lapangan masih banyak dijumpai kesalahan-kesalahan pemakaian pestisida. Karena pengetahuan mereka tentang pestisida masih sangat kurang.

Penggunaan pestisida harus seefisien dan seefektif mungkin, agar biaya dapat ditekan karena harganya sangat mahal. Penggunaan tidak tepat dapat berdampak negatif bagi manusia. Hal-hal yang berkaitan dengan efektifitas pemakaian pestisida diantaranya :

Pilih Jenis Pestisida Tepat Sasaran

Ketahuilah terlebih dahulu OPT yang sedang menyerang tanaman, karena jenis dan cara OPT merusak tanaman sangat menentukan jenis formulasi dan cara kerja pestisida yang sebaiknya dipilih. Disarankan menggunakan pestisida berspektrum sempit.

Kenali Bahan Aktif Pestisida

Pilihlah pestisida paling murah. Satu bahan aktif pestisida mempunyai merk dagang yang beraneka ragam dan harga yang berbeda-beda, padahal fungsinya sama. Kenali bahan aktif dan dosis pemakaian yang tertera pada kemasan.

Pencegahan Kekebalan

Penyemprotan pestisida harus dilakukan berseling baik bahan aktif maupun cara kerjanya, jangan menggunakan bahan aktif pestisida yang sama secara berturut-turut karena akan menimbulkan kekebalan pada OPT. Gantilah bahan aktif pestisida setiap kali penyemprotan pestisida.

Gunakan Dosis Yang Tepat
Dosis pemakaian pestisida dapat dilihat pada kemasan dari merk pestisida yang digunakan, gunakan dosis terendah terlebih dahulu kemudian tingkatkan sesuai dengan umur tanaman dan perkembangan di lapangan. Untuk menghemat biaya gunakan gelas ukur atau takaran yang tepat.

Jangan meningkatkan dosis yang lebih tinggi dari petunjuk di kemasan pestisida karena tidak akan meningkatkan efektifitas pengendalian tetapi justru dapat merusak dan meracuni tanaman, dan bahkan akan mempertinggi tingkat kekebalan OPT terhadap bahan aktif pestisida.

Waktu aplikasi pestisida yang tepat

Waktu yang baik untuk penyemprotan pestisida adalah pagi dan sore hari. Hindari sinar matahari terik dan cuaca mendung agar penyemprotan pestisida lebih efektif.


KARAKTERISTIK PESTISIDA


Efektifitas Pestisida

Merupakan daya bunuh pestisida terhadap OPT. Pestisida yang baik memiliki daya bunuh yang cukup untuk mengendalikan OPT dengan dosis yang rendah sehingga memperkecil dampat buruk terhadap lingkungan.

Selektifitas Pestisida

Merupakan kemampuan pestisida membunuh beberapa jenis organisme. Disarankan untuk menggunakan pestisida yang bersifat selektif atau berspektrum sempit. Dimana pestisida tersebut hanya membunuh OPT sasaran tanpa membahayakan organisme lain termasuk musuh alami OPT.

Fototoksisitas Pestisida

Merupakan suatu efek samping aplikasi pestisida yang dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman yang ditandai dengan pertumbuhan abnormal setelah aplikasi pestisida. Oleh karena itu tidak boleh menggunakan pestisida secara tidak terukur atau berlebihan.

Residu Pestisida

Adalah kemampuan pestisida bertahan dalam bentuk racun setelah penyemprotan. Residu yang terlalu lama akan berbahaya bagi manusia dan lingkungan, sedangkan residu yang terlalu pendek akan mengurangi efektifitas pestisida dalam pengendalian OPT.

Persistensi Pestisida

Kemampuan pestisida bertahan dalam bentuk racun di dalam tanah. Pestisida yang memiliki persistensi tinggi akan sangat berbahaya bagi lingkungan.

Resistensi Pestisida

Merupakan kekebalan OPT terhadap pestisida. Pestisida yang memiliki potensi resistensi tinggi sebaiknya tidak digunakan. Untuk mencegah resistensi pada hama/penyakit terhadap salah satu jenis pestisida, sebaiknya dilakukan penggantian bahan aktif setiap kali aplikasi pestisida.

LD 50 atau Lethal Dosage 50%

Besarnya dosis yang dapat mematikan 50% dari jumlah mamalia percobaan. Pestisida yang memiliki LD 50 tinggi berarti hanya dengan dosis yang sangat tinggi pestisida tersebut dapat mematikan mamalia. Dalam penerapan PHT disarankan untuk memilih pestisida dengan LD 50 yang tinggi.

Kompatibilitas Pestisida

Adalah kesesusaian antara satu jenis pestisida untuk dicampur dengan pestisida lain tanpa menimbulkan dampak negatif dari pencampuran itu.


Berikut ini cara memilih dua merk dagang pestisida berbahan aktif sama dengan dosis, Misal :

Pestisida A : Harga Rp. 200.000 dosis 2ml/lt kemasan 100ml
Pestisida B : Harga Rp. 230.000 dosis 1,5ml/lt kemasam 100ml

Cara memilih :
Harga pestisida A per ml adalah Rp. 2000
Harga pestisida B per ml adalah Rp. 2300

Kalau kita menggunakan sprayer berkapasitas 15 lt, berarti :
Pestisida A : 2ml x 15 x Rp. 2000 = Rp. 60.000
Pestisida B : 1,5ml x 15 x Rp. 2300 = Rp. 51.750

Jadi, dari melihat harga Pestisida B lebih murah daripada harga pestisida A karena dosisnya lebih rendah, meskipun sekilas tampak lebih mahal pestisida B (Rp. 230.000) daripada pestisida A (Rp. 200.000).

Akan tetapi, dari Karakter Pestisida, jenis Pestisida A Lebih Aman daripada Pestisida B. Karena level dosis antara pestisida A dengan pestisida B tidak jauh berbeda .

Writed by Baranur
Sumber:
Buku: Penanganan Produk Perlindungan Tanaman (PPT) Secara Benar
http://petunjukpraktisbudidaya.blogspot.com/2012/11/efektifitas-pemakaian-pestisida.html

Saturday, February 28, 2015

Pengelolaan Resistensi Pestisida di Indonesia



a.       Data tentang Resistensi Pestisida
Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak â€Å“manjur”nya jenis-jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh para petani atau petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian resistensi pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama tertentu seperti hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak peneliti di Indonesia yang bekerja menekuni masalah resistensi pestisida secara mendalam. Pada tingkat nasional maupun daerah, Indonesia belum memiliki rencana strategik kegiatan penelitian tentang pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan resistensi pestisida pada khususnya.

Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap malathion 34,5 kali, diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia hama tersebut telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali (Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi terhadap insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC terhadap wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali (Putra et al.,2002).

Hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella) yang menyerang kubis termasuk salah satu hama yang cepat menunjukkan sifat ketahanan terhadap berbagai kelas pestisida kimia dan juga pestisida biologi seperti Bt. Laporan pertama mengenai resistensi hama Plutella di Indonesia adalah terhadap DDT pada tahun 1951 di Lembang dan Batu dengan peningkatan 9 kali (Vos,1951;1952 cit Oka dan Sukardi, 1981).

Tjoa (1959, cit Oka dan Sukardi,1981) melaporkan bahwa Plutella sudah resisten terhadap HCH, Toxaphene, Aldrin, Dieldrin dan Endrin, hanya dalam kurun waktu 14 tahun setelah pestisida tersebut digunakan. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa populasi Plutella dari Kopeng resisten terhadap deltametrin dengan tingkat resistensi 469 kali dibanding populasi dari Cepogo yang masih peka ( Nuryanti dan Trisyono, 2002 ).

Plutella resisten terhadap deltametrin diturunkan secara monogenik, bersifat resesif dan ada maternal effect (Listyaningrum et al., 2003).

Plutella xylostella strain Lembang, Pengalengan, Berastagi sangat resisten terhadap Bt var kurstaki dan strain HD-7 (Sastrosiswojo et.al. 2003).

Peluang peningkatan faktor resistensi hama Plutella di Indonesia sangat besar karena di pusat daerah sayuran seperti Lembang, Dieng, dan Batu tanaman kubis ditanam sepanjang tahun dan penggunaan pestisida sangat intensif dan terus menerus.

b.       Data kerugian ekonomi akibat resistensi pestisida
Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap pestisida tertentu, namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa besar kerugian ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna pestisida, pemerintah dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida. Demikian juga kita belum pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang kita derita akibat fenomena resistensi pestisida.

Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa besar dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida, kita belum memiliki data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat resistensi berbagai jenis pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui apakah ratusan formulasi pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih efektif dan efisien dalam mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini perlu mengetahui di daerah mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah mana masih didominansi individu-individu peka.

c.       Kebijakan pendaftaran pestisida terkait resistensi pestisida
Dilihat dari tataran kebijakan nasional kita, belum memiliki kebijakan dan strategi khusus mengenai pengelolaan resistensi pestisida yang komprehensif dan terpadu. Umumnya penjelasan, anjuran, rekomendasi dan pelatihan dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari pemerintah maupun oleh petugas lapangan perusahaan pestisida tentang aplikasi pestisida yang tepat guna (tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat) secara tidak langsung bertujuan untuk memperlambat muncul dan berkembangnya populasi hama resisten pestisida.

UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan perundang-undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh petani secara individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus resistensi pestisida pada beberapa komoditas penting.

Keputusan Menteri Pertanian 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida belum mempunyai pasal-pasal khusus yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fenomena resistensi pestisida. Pasal 15 Kepmen tersebut yang mengijinkan formulasi pestisida berbahan aktif majemuk diharapkan dapat mengurangi risiko timbul dan berkembangnya populasi resisten dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan pada Surat Keputusan Ketua Komisi Pestisida.

d.       Urgensi dan relevansi Kebijakan Pengelolaan Resistensi Pestisida
Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi pestisida secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap jenis-jenis pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut antara lain:
1.     Petani sebagian besar masih sangat menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik dalam usaha pengendalian hama. Mereka masih mengikuti paradigma perlindungan tanaman konvensional, preventif dan prinsip asuransi yang cenderung berlebihan. Praktek pengendalian hama ini terjadi terutama pada komoditas rawan hama dan penyakit seperti kelompok tanaman hortikultura dan perkebunan tertentu.
2.     Peningkatan jumlah dan volume jenis-jenis pestisida di Indonesia pada beberapa tahun terakhir.
3.     Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik yang berarti banyak jenis pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari sekian banyak insektisida yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung meningkat baik untuk bidang pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan. Insektisida sintetik piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur manfaat yang pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.
4.     Semakin sedikitnya jenis-jenis pestisida baru dengan cara kerja baru yang ditemukan didaftarkan dan diedarkan. Jumlah pestisida biologi dan pestisida nabati yang didaftarkan dan diijinkan masih sangat sedikit, kurang dari 5% dari jumlah formulasi pestisida yang telah diijinkan di Indonesia.
5.     Data dan peta tentang tingkat keparahan resistensi berbagai jenis hama utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita miliki, karena kurangnya kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor resistensi pestisida.

Kesimpulan dan Saran
  1. Di Indonesia fenomena resistensi hama terhadap pestisida sudah merupakan masalah kronis yang telah lama kita hadapi sejak kita menggunakan pestisida, namun belum pernah dilakukan evaluasi dan pendugaan mengenai kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh fenomena tersebut.
  2. Indonesia belum mempunyai kebijakan dan strategi khusus untuk menanggulangi dan menghambat perkembangan populasi hama resisten karena belum memiliki kegiatan penelitian yang komprehensif, dapat dipercaya dan memadai.
  3. Resistensi pestisida seharusnya merupakan perhatian dan keprihatinan semua stakeholders (pemangku kepentingan) termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, produsen dan distributor pestisida, peneliti, akademisi, petani secara individu dan berkelompok dan masyarakat pada umumnya.
  4. Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan kebijakan khusus tentang Manajemen Resistensi Pestisida dengan melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas disiplin yang bertujuan menghambat, menunda atau menghentikan perkembangan populasi hama resisten.
  5. Pengembangan dan penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan Vektor Penyakit Manusia secara Terpadu perlu ditingkatkan dan diperluas, melalui kegiatan pemberdayaan petani dan masyarakat dalam menggunakan pestisida secara selektif dan hemat.
  6. Dalam kebijakan pendaftaran pestisida, hasil analisis risiko resistensi agar juga dipersyaratkan.

+